Kamis, 01 Maret 2012

GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI DIBERIKANNYA MAKANAN PENDAMPING ASI TERLALU DINI PADA BAYI UMUR 0-6 BULAN


BAB I
PENDAHULUAN
 

1.1  Latar Belakang
ASI adalah satu – satunya makanan dan minuman yang dibutuhkan oleh bayi hingga usia 6 bulan. ASI merupakan makanan bernutrisi dan berenergi tinggi. Pada bulan – bulan awal, saat bayi dalam kondisi yang paling rentan, ASI eksklusif membantu melindungi bayi dari diare, sindrom kematian tiba-tiba pada bayi dan infeksi lain yang biasa terjadi. Riset medis mengatakan bahwa ASI eksklusif membuat bayi berkembang dengan baik pada 6 bulan pertama bahkan pada usia lebih dari 6 bulan. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan adalah cara yang paling optimal dalam pemberian makan kepada bayi. (1)
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 – 2004 dan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) mengamanatkan bahwa pembangunan diarahkan pada meningkatnya mutu sumber daya manusia (SDM). Modal dasar pembentukan manusia berkualitas dimulai sejak bayi dalam kandungan disertai dengan pemberian Air Susu Ibu (ASI) sejak usia dini, terutama pemberian ASI Eksklusif yaitu pemberian hanya ASI kepada bayi sejak lahir sampai berusia 4 bulan.(2)
1
 
Pada saat seorang bayi tumbuh dan menjadi lebih aktif, akan dicapai usia tertentu dimana ASI saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. Dengan demikian, makanan tambahan diberikan untuk mengisi kesenjangan antara kebutuhan nutrisi total pada bayi dengan jumlah yang didapatkan dari ASI.(3)  Biasanya bayi siap untuk makan makanan padat baik secara pertumbuhan maupun secara psikologis, pada usia 6 – 9 bulan.(1) Pada usia ini otot dan saraf di dalam mulut bayi cukup berkembang untuk mengunyah, menggigit dan memamah. Pada usia ini juga sistem pencernaan sudah cukup matang untuk mencerna berbagai makanan. Memulai pemberian makanan tambahan terlalu dini atau terlalu lambat, keduanya tidak diinginkan.(3)
Bila makanan padat sudah mulai diberikan sebelum sistem pencernaan bayi siap menerimanya, maka makanan tersebut tidak dapat dicerna dengan baik dan dapat menyebabkan gangguan pencernaan: diantaranya diare , konstipasi dan lain – lain.(1) Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP- ASI) sebelum bayi berusia 6 bulan menyebabkan ASI kurang dikonsumsi, sehingga zat- zat kekebalan yang diperoleh dari ASI menjadi sedikit. Hal ini menyebabkan bayi rentan terkena infeksi. Cara menyiapkan makanan bayi yang kurang bersih memungkinkan timbulnya infeksi seperti diare. (4)
Dari hasil beberapa penelitian menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada bayi dan anak disebabkan karena kebiasaan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang tidak tepat. Keadaan ini memerlukan penanganan tidak hanya dengan penyediaan pangan, tetapi dengan pendekatan yang lebih komunikatif sesuai dengan tingkat pendidikan dan kemampuan masyarakat. Selain itu, ibu-ibu kurang menyadari bahwa setelah bayi berumur 4 - 6 bulan memerlukan MP-ASI dalam jumlah dan mutu yang semakin bertambah, sesuai dengan pertambahan umur bayi dan kemampuan alat cernanya. (5)
Pada saat bayi tumbuh dan menjadi lebih aktif, akan mencapai usia tertentu ASI saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak. Dengan demikian, makanan tambahan diberikan untuk mengisi kesenjangan antara kebutuhan nutrisi total pada anak dengan jumlah yang didapatkan dari ASI (Air Susu Ibu).(3)
Pada usia empat bulan pencernaan bayi mulai kuat. Pemberian makanan pendamping ASI harus setelah usia empat bulan. Karena jika diberikan terlalu dini akan menurunkan konsumsi ASI dan bayi mengalami gangguan pencernaan atau bisa diare. (6)
Satu yang paling baru adalah dari WHO, yakni Global Strategy on Infant Young Child Feeding yang secara khusus menyebutkan kebijakan pemberian ASI bagi bayi sampai usia enam bulan dan mulai pemberian makanan pendamping ASI yang memadai pada usia enam bulan. Dan pemberian ASI yang diteruskan hingaa anak berusia dua tahun atau lebih. Meski demikian perkembangan pelaksanaan dilapangan menunjukkan banyaknya pelanggaran yang merenggut hak bayi atas ASI eksklusif enam bulan tersebut yaitu dengan menjejali bayi yang baru lahir dengan produk makanan pendamping ASI, sehingga ketika akan disusui oleh ibunya si bayi menolak. (7)
Survei Demografi kesehatan Indonesia (SDKI ) menunjukkan pada tahun 1997 dan tahun 2002 perilaku pemberian ASI di Indonesia bayinya sebesar 96,3% tetapi pada tahun 2002 turun menjadi 95,9%. Pemberia ASI sampai enam bulan pada tahun 1997 yang hanya 42,4% terus menurun hingga 39,5% pada tahun 2002. Selain itu masalah yang sangat memprihatinkan adalah meningkatkan makanan pendamping ASI (susu formula) pada tahun 2002, 32% dibanding tahun 1997 yang hanya 10%. (7)
Tujuan pemberian makanan pendamping ASI adalah untuk menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus-menerus. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang normal dapat diketahui dengan cara melihat kondisi pertambahan berat badan anak. (6)
Selain sebagai pelengkap ASI, pemberian makanan tambahan sangat membantu bayi dalam proses belajar makan dan kesempatan untuk menanamkan kebiasaan makan yang baik. Dalam hal ini para orang tua dianjurkan untuk memperkenalkan bermacam-macam bahan makanan yang sesuai dengan kebutuhan fisiologis bayi serta aneka ragam makanan dari daerah setempat. Pemberian makanan dari daerah setempat sejak dini akan memungkinkan anak bersangkutan menyukai makanan tersebut sampai anak beranjak dewasa. (6)
Makanan tambahan untuk bayi harus mempunyai sifat fisik yang baik yaitu rupa dan aroma yang layak. Selain itu, dilihat dari segi kepraktisan, makanan bayi sebaiknya mudah disiapkan dengan waktu pengelohan yang singkat. Makanan pendamping ASI harus memenuhi persyaratan khusus tentang jumlah zat-zat gizi yang diperlukan bayi seperti protein, energi, lemak, vitamin, mineral dan zat-zat tambahan lainnya. (6)
Di daerah Jawa Barat saat ini menunjukkan bahwa pemberian ASI sampai umur enam bulan pada tahun 2002 mencapai 43% di Kabupaten Cirebon pemberian ASI eksklusif tahun 2003 mencapai 37,7% meningkat tipis dari tahun 2002 yang mencapai 32,1% dari jumlah bayi berumur 0-4 bulan. Alokasi pemberian MP-ASI program pengamanan sosial bidang kesehatan di Kabupaten Cirebon sejumlah 3859 bayi dari jumlah bayi GAKIN 3539 bayi. (8)
Cakupan pemberian ASI eksklusif di puskesmas Babakan tahun 2007 sebesar 65,84% dari jumlah bayi umur 0-6 bulan, menurun pada September 2008 sebesar 52,6%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2008 hampir 50% bayi umur 0-6 bulan telah diberikan MP-ASI. 
Menurut Soetjiningsih, pengalaman telah menunjukan bahwa terbentuknya cara pemberian makanan bayi yang tepat serta lestarinya makanan asi sangat tergantung kepada informasi yang diterima oleh ibu-ibu. Disegi lain promosi yang tidak terkendali dari PASI (Pengganti Air Susu Ibu : Susu Botol : Susu Formula) akan mengubah kesepakatan untuk menyusui sendiri bayinya serta menghambat terlaksananya proses laktasi.(9)
Faktor ibu berdasarkan sosial ekonomim, pendidikan, pekerjaan dan sosial budaya dapat melatarbelakangi pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu dini pada bayi. Status sosial ekonomi berhubungan erat dengan pekerjaan dan pendapatan orang tua yang nantinya berpengaruh terhadap konsumsi energi. Pendidikan yang dijalani seseorang memiliki pengaruh pada peningkatan kemampuan berfikir, dengan kata lain seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan dapat mengambil keputusan yang lebih rasional, umumnya terbuka untuk menerima perubahan atau hal baru dibandingkan dengan individu yang berpendidikan lebih rendah.. (10)
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 20 Juli 2010 yang dilakukan dengan wwancara, diperoleh data bahwa jumlah ibu yang memberikan MP-ASI pada bayi umur 0-6 bulan sebayak 30 orang. Dari 5 orang yang diwawancara, 2 orang mengatakan memberikan MP-ASI dengan alasan sudah kebiasaan mereka memberikan MP-ASI pada bayinya dan 3 orang mengatakan malas memberikan ASI eksklusif karena sibuk dengan pekerjaan dan mengurus anak yang lainnya.

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN DIET PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE II


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Penyakit diabetes merupakan penyakit gangguan metabolisme akibat dari suatu defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya efektifitas biologis dari insulin, sehingga menyebabkan pasien diabetes mellitus memerlukan insulin untuk membantu mengendalikan kadar glukosa darah, selain itu upaya mempertahankan konsistensi jumlah kalori dan karbohidrat yang dikonsumsi pada jam makan merupakan hal penting 
Kesehatan dan gizi merupakan faktor yang sangat penting untuk menjaga kualitas hidup yang optimal. Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Kondisi status gizi baik dapat dicapai bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang akan digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan fisik, perkembangan otak dan kemampuan kerja untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal. Kondisi ketidakseimbangan status gizi dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit, yaitu penyakit infeksi pada gizi kurang dan penyakit degeneratif pada gizi lebih, dimana salah satunya adalah penyakit diabetes mellitus 
Penyakit DM khususnya  tipe II dikenal sebagai ”pembunuh diam-diam” karena perkembangannya bertahap dan komplikasi yang ditimbulkannya sangat berbahaya. Penelitian menunjukan bahwa orang yang didiagnosa terkena DM tipe II, sebenarnya telah dijangkiti penyakit ini sejak 8-12 tahun yang lalu 
Prevalensi penyakit DM di dunia pada tahun 2010 mencapai 125 juta per-tahun dengan prediksi berlipat ganda mencapai 250 juta dalam 10 tahun mendatang. Menurut data WHO, dunia kini didiami 171 juta penderita dengan DM dan akan meningkat 2 kali, 366 juta pada tahun 2030 (Bustan, 2007). Sementara prevalensi DM di negara-negara di kawasan Asia Pasifik diperkirakan mencapai 46.903.000 jiwa pada tahun 2000 dan angka ini akan meningkat menjadi 119.541.000 jiwa pada tahun 2030 .
Berbagai penelitian epidemiologi di Indonesia didapatkan prevalensi DM di Indonesia hingga saat ini sebesar 1,5%-2,3% dari penduduk usia lebih 15 tahun atau dengan kata lain dikatakan prevalensi DM di Indonesia mencapai 8.426.000 yang diproyeksikan mencapai 21.257.000 pada tahun 2030. Artinya akan terjadi kenaikan tiga kali lipat dalam waktu 30 tahun 
Kenaikan prevalensi DM di berbagai daerah yang terutama disebabkan oleh peningkatan kemakmuran, perubahan gaya hidup dan bertambah panjang usia harapan hidup, maka dapat dipahami bila dimasa yang akan datang DM dengan komplikasinya akan berkembang menjadi salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian di Indonesia. Dengan penatalaksanaan yang sesuai, baik secara medis maupun nutrisional, kadar gula darah dan berat badan dapat selalu dikendalikan dan dipertahankan dalam keadaan normal, diharapkan timbulnya komplikasi dan berbagai penyakit menahun tersebut dapat dicegah, paling sedikit dihambat 
Menurut Waspadji, (2007) menyatakan bahwa modalitas utama dalam penatalaksanaan diabetes mellitus terdiri dari terapi non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup yang salah satunya dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis. Pasien DM yang memiliki pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang memadai tentang standar diet yang tepat dapat mengaplikasikannya dalam asupan dietnya baik ketika menjalani perawatan di rumah sakit maupun dalam kesehariannya di rumah 
Notoatmodjo, (2007) mengatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan atau perilaku seseorang. Pengetahuan penderita mengenai diabetes mellitus merupakan sarana yang membantu penderita menjalankan penanganan diabetes selama hidupnya. Dengan demikian semakin banyak dan semakin baik penderita mengerti mengenai penyakitnya, maka semakin mengerti bagaimana harus mengubah perilakunya dan mengapa hal itu diperlukan 
Menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2003) faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan meliputi faktor predisposisi (faktor – faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai tradisi), faktor - faktor pemungkin (faktor - faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau  tindakan) dan faktor - faktor penguat (faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku).
Dari hasil studi pendahuluan berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti dengan 10 pasien diabetes mellitus di Ruang Rawat Inap RSUD Gunung Jati Cirebon diperoleh data bahwa 7 pasien mengatakan malas mengikuti anjuran diet atau olahraga dan 3 pasien mengatakan bosan dengan program diet yang dianjurkan. Selain itu, sebagian besar dari mereka mengatakan belum mengerti benar tentang penyakit diabetes mellitus.
Kepatuhan adalah tingkat perilaku pasien yang tertuju terhadap intruksi atau petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi apapun yang ditentukan, baik diet, latihan, pengobatan atau menepati janji pertemuan dengan dokter, maka penyuluhan atau konseling bagi penyandang diabetes beserta keluarganya sangat diperlukan 
Upaya yang dilakukan oleh tim diabetes mellitus di RSUD Gunung Jati Cirebon yaitu dengan melakukan pertemuan antara edukator (dokter) dengan pasien yang dilakukan 2 (dua) kali per bulan untuk memberikan pendidikan kesehatan mengenai penyakit DM, salah satunya tentang diet.
Adapun permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah faktor predisposisi dari kepatuhan diet pasien diabetes mellitus, karena faktor predisposisi merupakan ciri-ciri yang telah ada pada individu dan keluarga sebelum menderita sakit, yaitu pengetahuan, sikap dan keyakinan pasien terhadap kesehatan.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PRE EKLAMSI PADA IBU BERSALIN



A.    Latar Belakang
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina kedunia luar.. Peralinan ada 2 macam yaitu persalina fisiologis dan patologis, persalinan fisiologis merupakam persalinan yang berjalan dan normal tanpa ada komplikasi,. Sebaliknya persalinan patologis adalah persalinsn dengan komplikasi salah satunya adalah pre eklamsi ringan.
Pre eklamsi ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi edema dan proteinuria yang timbul karena kehamilan dengan tekanan darah sistoloik 140 mmHg, distolik 90 mmHg atau tekanan darah kurang dari sistolik 160 mmHg, distolik 110 mmHg, dan dengan protein dalam air kencing (1 +) 
Preeklamsi ringan adalah sekumpulan gejala abnormal pada wanita hamil yang terdiri atas tekanan darah tinggi, bengkak pada tangan, muka dan keluarnya protein melalui air seni / proteinuria dan hanya timbul ketika berlangsungnya kehamilan serta diduga timbul akibat adanya zat racun yang dihasilkan oleh janin 
Frekuensi pre eklamsi untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak faktor yang mempengaruhinya ; jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi, perbedaan kriterium dalam penentuan diagnosis dan lain-lain. Dalam kepustakaan frekuensi dilaporkan berkisar antara 3-10%. Pada primigravida frekuensi pre eklamsi lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda. Diabetes mellitus, mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, umur lebih dari 35 tahun, dan obesitas merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya pre eklamsi 
Angka kejadian Pre eklamsi di dunia sebesar 0-13 % di Singapura 0,13-6,6% sedangkan di Indonesia 3,4-8,5%. Dari penelitian Soejoenoes di 12 rumah sakit rujukan pada 1980 dengan jumlah sample 19.506, didapatkan kasus pre-eklamsi 4,78 %, kasus eklamsia 0,51% dan angka kematian perinatal 10,88 perseribu. Penelitian yang dilakukan oleh Soejoenoes pada 1983 di 12 Rumah Sakit Pendidikan di Indonesia, didapatkan kejadian Pre-eklamsia dan eklamsia 5,30 % dengan kematian perinatal 10,83 perseribu (4,9) kali lebih besar dibandingkan dengan kehamilan normal 
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 6 Juni 2009 diperoleh data dari tahun 2009 di BRSUD Waled Kabupaten Cirebon pada bulan Mei angka ibu bersalin berjumlah 122 dan 20 diantaranya dengan pre eklamsi ringan. (Medikal Record BRSUD Waled Cirebon, 2009).

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PERSALINAN PRETERM


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Tingkat kematian ibu melahirkan di Indonesia tergolong tinggi dan diperkirakan paling tinggi di Asia Tenggara dengan angka rata-rata 307 per 100.000 kelahiran hidup sampai pertengahan November 2007 (Amelia, 2008), itu berarti setiap tahun ada 13.778 kematian ibu atau setiap 2 jam ada 2 ibu hamil, bersalin dan nifas yang meninggal karena berbagai penyebab 
Data dari World Health Organization (2002) menunjukkan bahwa angka yang sangat memprihatinkan terhadap kematian bayi yang dikenal dengan fenomena 2/3 yaitu: Pertama fenomena ⅔ kematian bayi (0-1 tahun) terjadi pada masa neonatal (Bayi baru berumur 0-28) hari. Kedua adalah 2/3 kematian masa neonatal dan terjadi pada hari pertama. Berkaitan dengan kematian bayi di Indonesia tahun 2002, bayi 0-28 hari (neonatal) masih terjadi kematian sebanyak 100. 454 bayi berarti 273 neonatal meninggal setiap harinya yang berarti pula bahwa setiap satu juta bayi neonatal meninggal dini. 
1
 
Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 1997 angka kejadian persalinan preterm di Indonesia adalah 3%. Dewasa ini Indonesia (2007) memiliki angka kejadian preterm sekitar 19% dan merupakan penyebab utama kematian perinatal. Kelahiran preterm juga bertanggungjawab langsung terhadap 75-79 kematian neonatal yang disebabkan oleh kongenital. 
Persalinan preterm adalah salah satu persalinan yang tidak normal dari segi umur kehamilan, yaitu persalinan yang terjadi pada umur kandungan kurang dari normal yaitu kurang dari 37 minggu atau 259 hari 
Pada umur kehamilan ini perkembangan organ-organ, fungsi-fungsi organ dan sistem-sistem belum sempurna, terutama sistem homoestatis. Kondisi ini menyebabkan bayi prematur memiliki risiko tinggi untuk mengalami kematian atau menjadi sakit dalam masa neonatal.
Persalinan preterm bukan hanya suatu tragedi dalam keluarga atau masalah obstetri/neonatologi saja namun merupakan gambaran kesehatan negara secara umum karena banyak hal terkait di dalammya baik itu masalah budaya dalam pemberian makan terhadap ibu hamil dan masalah sosial ekonomi yang buruk.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya persalinan preterm. Dari berbagai literatur dinyatakan bahwa faktor risiko yang menyebabkan persalinan preterm diantaranya usia ibu, sosial ekonomi rendah, abortus berulang, paritas, riwayat persalinan preterm, kehamilan kembar dan Preeklampsia berat.
Semakin muda bayi dilahirkan maka risiko kesakitan semakin meningkat. Mereka yang berhasil melewati masa krisisya sering mengalami kebutaan, tuli, cerebral palsy atau retardasi mental. Umumnya inkubator terbaik bagi perkembangan janin adalah uterus Ibu artinya perkembangan modern sekalipun belum mampu menyamai kemampuan uterus untuk memelihara pertumbuhan dan perkembangan janin. Di samping itu bila bayi lahir prematur, sering kali di perlakukan perawatan di Rumah Sakit dalam jangka waktu yang lama. perawatan yang lama akan mengurangi kesempatan kedekatan antara ibu, bayi dan keluarga juga dalam masalah biaya.
Kejadian persalinan preterm di Indonesia sekitar 19 %, sedangkan kejadian persalinan preterm di BBRSUD Arjawinangun dari bulan Januari s/d  bulan Juni 2008  tercatat sebanyak 92 kasus dari 601 persalinan atau sekitar 15,31 %. (Medical Record BRSUD Arjawinangun, 2008). Ini menunjukkan bahwa angka kejadian persalinan preterm di Arjawinangun cukup tinggi karena hampir mendekati angka kejadian persalinan preterm di Indonesia. 

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMERIKSAAN ANC


BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1.       Latar Belakang

Pemeriksaan kehamilan yang disebut dengan Ante Natal Care (ANC) adalah pemeriksaan kehamilan yang dilakukan untuk memeriksa keadaan ibu dan janin secara berkala yang diikuti dengan upaya koreksi terhadap penyimpangan yang ditemukan (1).
Dalam pelayanan ANC terdapat pelayanan Asuhan Standar Minimal “7T” yang terdiri dari : timbang berat badan, ukur tekanan darah, ukur tinggi fundus uteri, pemberian imunisasi TT, pemberian tabelt tambah darah selama kehamilan, tes terhadap penyakit menular seksual dan temu wicara dalam persiapan rujukan(2).
Adapun tujuan umum dilakukannya ANC adalah menyiapkan seoptimal mungkin fisik dan mental ibu dan anak selama dalam kehamilan, persalinan, dan nifas. Sehingga didapatkan ibu dan anak yang sehat (3).
Pelita V di bidang kesehatan merupakan suatu era dimana perhatian dan upaya ditujukan kepada peningkatan keselamatan dan kesehatan ibu (Gerakan Safe Motherhood). Tekad yang telah digalang adalah menurunkan kejadian kematian ibu di Indonesia yang sekarang ini masih relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain, terutama negara-negara di Asia. Telah pula dibuktikan oleh para ahli, bahwa angka kesakitan dan kematian ibu meningkat drastis selama kurun kehamilan, melahirkan dan pascalahir(4).
Dengan keputusan Mentri Kesehatan RI Nomor 574/Menkes/SK/2000 telah ditetapkan visi pembangunan kesehatan yaitu “ Indonesia Sehat 2010“. Visi tersebut menggambarkan bahwa pada tahun 2010 bangsa Indonesia hidup dalam lingkungan yang sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat serta mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata sehingga mamiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya(5).
Sejak dicanangkannya visi Indonesia sehat 2010 telah banyak kemajuan yang dicapai. Akan tetapi kemajuan-kemanjuan itu tampaknya masih jauh dari target yang ingin dicapai pada tahun 2010(5).
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002 / 2003, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia adalah 307/100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi (AKB) adalah 20/1000 kelahiran hidup(6). Tingginya angka mortalitas ibu hamil / nifas dan bayi merupakan akibat dari rendahnya pemeriksaan kehamilan antara lain adalah faktor sosial budaya dan faktor sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan dan penghasilan) (7).
Kehamilan, yang pada dasarnya merupakan suatu proses fisiologis, ternyata dapat terganggu oleh berbagai macam penyakit dan kelainan yang dapat membahayakan kesehatan ibu ataupun janin. Oleh karena itu, setiap keadaan selama hamil yang mengganggu kesehatan dan keselamatan jiwa ibu maupun janin haruslah diketahui sedini mungkin sehingga dapat dilakukan pencegahan ataupun pengobatan yang sebaik-baiknya. Pemeriksaan kehamilan merupakan salah satu cara terbaik(4). Karena dengan ibu melakukan pemeriksaan, segala komplikasi kehamilan dapat dideteksikan secara dini(1).
Menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon tahun 2008 jumlah ibu hamil sebanyak 62.046 ibu hamil dengan K1 berjumlah 53.940 ibu hamil (86,9%) dan K4 berjumlah 49.460 ibu hamil (79,7%)(8).
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan di Puskesmas Watubelah Kabupaten Cirebon tahun 2008 diperoleh data jumlah ibu hamil sebanyak 1.072 ibu hamil dengan K1 berjumlah 964 ibu hamil (89,9%) dan K4 berjumlah 891 ibu hamil (83,1%)(9).
Berdasarkan data diatas ibu hamil yang melakukan pemeriksaan ANC ke petugas kesehatn tahun 2008 belum mencapai target karena target K1 adalah 95% dan target K4 adalah 90% sedangkan di Puskesmas Watubelah jumlah K1 adalah 89,9% dan K4 baru mencapai 83,1%.
Rendahnya prosentase ibu hamil melakukan pemeriksaan ke petugas kesehatan dapat memberikan dampak langsung terhadap kesehatan ibu dan anak nantinya(4).

FAKTOR PENYEBAB KEKURANGAN GIZI PADA IBU HAMIL TRIMESTER III


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kekurangan gizi adalah asupan makanan kurang gizi yang tidak seimbang dengan kebutuhan tubuh. Sehingga menyebabkan daya tahan tubuh kurang. (1)
Berdasarkan data Denkes 2006 menunjukan bahwa 24% ibu mengalami masalah gizi khusus kurang. Akibat yang ditimbulkannya adalah ibu hamil menderita anemia dan KEK mempunyai resiko kesakitan lebih besar untuk melahirkan bayi dengan BBLR, perdarahan pasca persalinan, dan mudah mengalami gangguan kesehatan, selain itu status gizi sebelum dan selama hamil akan mempengaruhi pertumbuhan janin dalam kandungan (2).
Pada tahun 2006 menunjukan bahwa 27,6 % ibu hamil di Indonesia mengalami kekurangan gizi (2).Kekurangan gizi pada ibu hamil banyak di akibatkan oleh beberapa faktor,salah satunya yaitu status ekonomi rendah. Akibat krisis ekonomi angka kemiskinan membengkak dari 7,2 juta jiwa menjadi 22,6 juta jiwa didaerah perkotaan. sementara diwilayah desa, angka ini bergerak dari 15,3 ke 56,8 jiwa. Dengan demikian penduduk Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan telah meningkat keangka 79,4 juta jiwa atau 39,1 % dari 202 juta jiwa penduduk Indonesia (3). 
Krisis ekonomi yang berakibat menurunnya daya beli masyarakat terutama kelompok dibawah garis kemiskinan memicu masalah yang lebih besar. Ibu janin dan janinnya rentan terhadap dampak krisis energi yang sedang terjadi. Asupan nutrisi saat ibu hamil akan sangat berpengaruh pada out come kehamilan tersebut (3).
Besarnya    energi yang    terasup    merupakan    faktor    gizi    paling penting,banyaknya energi yang harus  disiapkan hingga kehamilan berakhir sekitar 80.000 kkal kira-kira 300 kkal tiap hari (3).
Karena  adanya perbedaan  kebutuhan  energi selama hamil,WHO menganjurkan jumlah tambahan sebesar 159 kkal sehari pada trimester I dan 359 kkal sehari pada trimester ke II dan III, sementara widyakarya nasional pangan dan gizi V 2007 mematok angka 285 kkal. (3)
Berdasarkan data di Puskesmas Cilimus Kabupaten Kuningan Periode September 2007 - juni 2008 jumlah ibu hamil dengan status kekurangan gizi 168 orang (2,5 %) dari 430 ibu hamil yang disebabkan oleh faktor pendidikan, faktor sosial ekonomi, faktor sosial budaya, dan faktor kesehatan.

GAMBARAN FAKTOR PENYEBAB ASFIKSIA PADA BAYI BARU LAHIR


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan.(1)
Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir, yaitu : (1) Keadaan ibu meliputi : preeklampsia dan eklampsia, perdarahan abnormal (placenta praevia atau solutio placenta), partus lama atau partus macet, demam selama persalinan, infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV), kehamilan lewat waktu (sesudah 42 minggu kehamilan), KPD. (2) Keadaan tali pusat meliputi : lilitan tali pusat, tali pusat pendek, simpul tali pusat, prolapsus tali pusat, dan (3) Keadaan bayi meliputi : bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan), persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep), kelainan bawaan (congenital), air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan).(1)
Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia telah dapat diturunkan dari 30,8 per 1000 kelahiran hidup (KH) pada tahun 2004 menjadi 29,4 pada tahun 2005 28,1 pada tahun 2006 dan 26, 9 pada tahun 2007.(2)
Data Dinas Kesehatan Cirebon menunjukkan bahwa pada tahun 2008 terdapat jumlah bayi meninggal sebanyak 332 bayi. AKB sebanyak 7,6 per 1000 kelahiran hidup.(3)
Berdasarkan studi pendahuluan tentang faktor penyebab asfiksia di  BRSUD Waled Kabupaten Cirebon tahun 2008 data yang di dapat yaitu kasus asfiksia sebanyak 91 (14,4%) dari 1307 bayi baru lahir yang disebabkan karena ketuban mekonium 21,74 %, tindakan vaccum ekstraksi 17,39 %, PEB dan prematur 13,0 %, letak sungsang dan SC 8,7 %, KPD, gameli, lilitan tali pusat dan partus lama 4,35 % dan periode Januari sampai dengan April 2009 sebanyak 30 kasus asfiksia dari 532 bayi. (4)
Salah satu upaya dalam rangka menurunkan kematian neonatal khususnya karena asfiksia, di Kabupaten Cirebon telah dilaksanakan berbagai kegiatan melalui peningkatan sumber daya manusia (bidan) diantaranya : pelatihan APN, pelatihan manajemen asfiksia dan pembinaan.